Lembaga Penyiaran Publik (LPP)
Sumber pendanaan LPP dapat berasal
dari APBN (atau APBD untuk
LPPL), iuran penyiaran, sumbangan masyarakat, siaran iklan, dan usaha-usaha
lain yang sah yang terkait dengan penyelenggaraan penyiaran. Hingga akhir 2020,
sumber pendanaan selain APBN untuk RRI dan TVRI diatur lebih lanjut dengan PP
Nomor 68 Tahun 2020 untuk RRI dan PP Nomor 66 Tahun 2020 untuk TVRI.
LPP berskala nasional di Indonesia adalah RRI dan TVRI. RRI dan TVRI pada mulanya adalah lembaga yang didirikan terpisah dari pemerintah pusat, kemudian dimasukkan dalam lingkungan Departemen Penerangan (Deppen) masing-masing pada tahun 1946[2] dan 1975. Dorongan untuk menempatkan kembali RRI dan TVRI sebagai lembaga yang berorientasi pada masyarakat dan independen dari pemerintah mencuat pasca-Reformasi hingga Deppen dibubarkan pada tahun 2000 pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan kendali pemerintah secara perlahan dihapuskan (departemen tersebut kemudian dibentuk kembali menjadi Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini). RRI dan TVRI mengalami perubahan status menjadi perusahaan jawatan di bawah Departemen Keuangan di tahun yang sama (TVRI kemudian berganti status lagi menjadi BUMN berbentuk PT pada tahun 2002) dan secara resmi menjadi LPP pada 2005.
· RRI didirikan pada tanggal 11 September 1945. RRI saat
ini menjalankan empat radio (Pro 1, Pro 2, Pro 3, dan Pro 4) yang dibawa sebagiannya atau seluruhnya oleh 89 stasiun
lokal; Pro 3 sendiri merupakan jaringan yang disiarkan secara sentral. RRI juga
menjalankan layanan radio internasional Suara Indonesia (Voice of Indonesia).
· TVRI didirikan pada tanggal 24 Agustus 1962. TVRI
menjalankan tiga saluran televisi nasional (TVRI, TVRI Kanal 3, dan TVRI Sport HD), juga 30 stasiun daerah di seluruh Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Penyiaran yang saat ini sedang dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menggabungkan RRI dan TVRI menjadi Radio Televisi Republik Indonesia [sumber : id.wikipedia,org]